Senin, 22 Oktober 2012

Sang Pengantar Surat - #1Pekan1Cerita

Sang Pengantar Surat


Tahun 1945, Indonesia dalam puncak-puncaknya pergerakan kemerdekaan. Bak sebuah melodrama yang penuh dengan bisikan-bisikan semangat, amarah dalam tatapan seorang penonton yang haru biru dalam memperjuangkan kemerdekaan, kini mereka tiba pada sebuah cerita. Ketika Soekarno dan Muhamad Hatta diculik ke Rengasdengklok. Malam itu suasana di rumah Laksamana Muda Maeda begitu mencekam. Semuanya telah yakin bahwa besok Indonesia pasti merdeka.

Aku hanyalah seorang yang tidak penting, seorang tukang pos yang ditarik-tarik oleh saudara sepupuku Soeyanto. Seorang pembantu yang bekerja di rumah Laksamana Muda Maeda. Aku belum pernah melihat tokoh yang selalu dieluk-elukan para pemuda itu. Sejujurnya aku sendiri tak mengerti tentang apa rencana mereka untuk membuat Indonesia merdeka. Yang jelas, aku hanya mengetahui bahwa malam ini mereka merencanakan sesuatu yang besar.

“Yanto!” panggilku. “Piye?”

“Tulung yo, kirimno surat iki nang Malang. Aku ora ngerti sesuk jik urip opo ora. Sing jelas, sesuk aku bakal melu uwong-uwong nang lapangan,” kata Soeyanto.

“Lumayan angel lho mlaku nang Malang, lagian saiki lagi genting kondisine,” kataku.

“Kau tahu bagaimana perasaanku kepada Yuyun. Kangen lan khawatir. Tapi sing jelas, aku yakin sesuk Indonesia merdeka. Tulung ya, iki surat isine aku bakal balik ke Malang bulan depan. Langsung aku akan melamar Yuyun,” kata Yanto.

Ternyata ini surat cinta. Memang Yanto dan Yuyun sudah saling cinta sejak lama. Akulah orang yang menjodohkan mereka. Awalnya karena Yanto melihat Yuyun pada hari Raya Idul Fitri dua tahun yang lalu. Dia adalah salah satu pembantu di salah satu rumah di daerah Menteng ini. Rumah seorang berkebangsaan Inggris yang sangat disegani. Ketika Jepang datang, rumah itu masih dihuni namun pemiliknya pergi. Jadi hanya pembantu-pembantunya saja yang tinggal di rumah itu.

Percintaan Yanto dan Yuyun boleh dibilang sangat romantis. Kadang Yanto mengirimkan bunga mawar, walaupun gajinya sebagai kacung di rumah perwira Jepang ini tidak seberapa. Mereka selalu kirim-kiriman surat. Namun lima bulan yang lalu Yuyun harus kembali ke kampung halamannya di Malang. Ia pulang karena orang tuanya sakit keras. Yanto berjanji akan menikahi Yuyun setelah Indonesia merdeka dari cengkeraman penjajah. Sebuah janji yang romantis dan penuh ambisius. Perpisahan mereka bak film-film barat yang kadang diputar di layar tancap berwarna hitam putih. Aku yang jadi saudaranya pun jadi iri melihatnya.

Pagi hari ini ketika Subuh, aku memompa sepedaku yang biasa aku gunakan untuk mengirimkan surat. Pekerjaanku menjadi pengantar surat sudah lama aku tekuni. Gajiku cukup lumayan untuk bisa menyambung hidup. Setelah sholat Subuh, secara mengejutkan Yanto mengatakan bahwa Soekarno dan Muhammad Hatta ada di rumahnya. Tapi ia menyuruhku untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun. Yanto tahu bahwa besok aku akan pergi ke Malang untuk mengawal paket kiriman. Sehingga karena searah, ia pun memintaku untuk membantunya.

Buatku sama sekali tak masalah, karena ia adalah keluargaku sendiri. Aku mengiyakannya. Aku sesekali melongok ke dalam rumah Laksamana Maeda, tidak bisa terlihat jelas apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Sesaat sebelum pergi malam itu, aku melihat seseorang dengan blankon masuk. Aku sempat melihatnya sejenak. Aku tak tahu siapa dia tapi tampaknya dia orang yang sangat penting dan berwibawa.

Sebuah mobil Cadilac 48 berwarna hitam terparkir di halaman rumah. Siapa pemilik mobil ini? Tapi masa bodoh, aku sudah menerima surat yang harus aku kirimkan ke pemiliknya. Akhirnya malam itu pun aku langsung pergi ke stasiun. Aku tak membawa barang banyak, karena memang aku cuma sebentar saja di Malang. Hanya menggunakan seragam khas seorang kurir. Baju berwarna coklat agak mbulak, celana selutut dan sepatu hitam dengan kaus kaki hampir mengenai lutut. Tak lupa dengan topi seperti tempurung kura-kura yang selalu aku pakai.

Aku kayuh sepedaku, tak lupa aku pasang lapu untuk menerangi jalanan yang sepi di Rengasdengklok ini. Aku perlu waktu paling tidak hampir dua jam lamanya, karena harus melewati beberapa pos penjagaan tentara Jepang. Mereka memeriksaku apakah aku benar-benar orang berbahaya atau tidak. Berkali-kali para pemuda saling memberi salam “merdeka” kepada teman-temannya. Seolah-olah mereka tahu bahwa besok akan merdeka.

Akhirnya setelah menempuh perjalanan yang melelahkan aku sudah berada di dalam gerbong kereta di Stasiun Karawang. Selama di gerbong, aku banyak terdiam. Walaupun rasa penasaranku menjadi-jadi untuk membuka surat yang Yanto kirimkan. Aku sangat penasaran, bagaimana Yanto yang orangnya kurus kering itu bisa mendapatkan Yuyun yang sangat cantik itu. Padahal aku cuma mengenalkan mereka sekali. Dan itu pun hanya kubuat bercanda saja. Tapi aku tak berani membukanya. Namanya juga amanah.

Di dalam kereta ini, aku lebih banyak tidur. Rekan kerjaku yang ikut membawa paket pun ikut tertidur. Ia juga tak banyak bicara selain menawarkan makanan atau minuman untuk mengganjal perut dalam perjalanan ini. Kereta ini berjalan lumayan lambat, perkiraanku siang hari baru sampai Malang.

***

Aku dibangunkan oleh silaunya sinar matahari yang masuk melalui jendela. Buru-buru aku sholat Subuh, sekalipun telat. Sholat dalam perjalanan memang sungguh nikmat. Serasa lebih khusyu' daripada sholat di kampung halaman. Perjalanan panjang pun akhirnya berakhir juga. Kami sampai di Malang ketika matahari sudah terik.

Segera kami membawa barang-barang kami keluar. Berdesak-desakan sama seperti ketika kami berada di Karawang. Namun bedanya di sini pos penjagaan tentara Jepang agak longgar, entah kenapa. Kami buru-buru untuk menuju ke kantor tempat paket ini di tempatkan untuk sementara sebelum di distribusikan ke masing-masing alamat. Kami berhenti di sebuah Delman yang terparkir tak jauh dari pintu stasiun.

Setelah sepakat dengan harga kami pun naik delman itu sampai ke kantor pos. Langsung kami menurunkan barang-barang begitu sampai di kantor pos. Namun ternyata urusannya tak sekedar menurunkan barang-barang saja. Kita tetap harus mendata semua barang. Hingga akhirnya ternyata urusan ini lebih melelahkan daripada yang aku kira. Tepat sore hari kami sudah selesai.

Aku sempatkan diri untuk makan bersama kawanku sambil nunggu kereta yang akan berangkat malam hari nanti. Oh iya, aku hampir lupa untuk mengantarkan surat titipan Yanto ke Yuyun. Akhirnya setelah makan, aku mencari kendaraan yang kira-kira bisa untuk mengantarkanku ke sana. Dan aku pun bertemu dengan bapak penarik delman tadi.

“Pak, tahu alamat ini?” tanyaku sambil menunjukkan surat itu.

Bapak tua itu mengernyitkan dahi. “Tahu, tahu, aku ngerti panggone. Ayo!”

“Alhamdulillah pak, nggih cepet nggih, selak ketinggalan sepur!” kataku.

Delman pun melaju dengan agak cepat. Aku melihat bermacam-macam pemandangan di kota Malang ini. Kota yang sangat ingin dikuasai Belanda sejak dulu, karena menghalang-halangi mereka untuk menjajah negeri ini. Entah apakah rencana orang-orang yang berada di Rengasdengklok untuk kemerdekaan Indonesia ini membuahkan hasil atau tidak. Setidaknya berita tentang kemerdekaan atau apapun tidak tersebar di sini. Masyarakatnya diam saja.

Entah kenapa, aku sangat ngantuk sekali. Mungkin karena terlalu capek, hingga aku pun tertidur sebentar hingga pak kusir membangunkanku.

“Sudah sampai sam!” katanya.

Aku terkejut. Serasa semuanya serba cepat. Aku pun menyuruh pak tua itu untuk menungguku sebentar. Aku melihat sebuah rumah yang sangat besar. Pagarnya pun terbuat dari besi pilihan. Aku bingung bagaimana caranya menyapa penghuni rumah. Ternyata tak sulit karena pagarnya tiba-tiba terbuka oleh seorang gadis yang sangat cantik. Tapi dilihat dari pakaiannya ia tampaknya dari kalangan priyayi.

“Ada apa ya mas ya?” tanyanya. Ia tampak aneh melihatku. Aku lebih aneh melihatnya lagi dengan setelah kemeja ditutupi jas hitam rok selutut dan rambutnya pun pendek seleher, ditambah sepatu hak tinggi mirip noni-noni Belanda. Tapi aku yakin ia orang pribumi.

“Ee...ma'af, apa betul ini rumahnya Yuyun?” tanyaku sambil menyodorkan surat.

“Iya, betul,” jawabnya. Wanita itu melihat sejenak surat itu dan agak merasa aneh. Ia menoleh ke arahku lagi.

“Baiklah kalau begitu, tugas saya selesai bu, mari!” kataku.

“Mari,” katanya ia nyengir saja. Senyumnya tapi ramah sekali. Duh, siapa ya itu koq seperti noni-noni Belanda tapi orang Jawa. Aku pun naik Delman lagi. Setelah itu aku benar-benar ngantuk dan tidak sadar hingga terbangun sudah di depan kantor pos lagi. Akhirnya setelah itu aku pun pulang ke Karawang dengan kereta malam.

***

“Surat dari mana?” tanya Yuyun. Ia sekarang berusia 87 tahun.

“Entahlah nek, orang yang ngirim juga memakai pakaian serba tahun 40-an gitu, seperti pejuang kemerdekaan,” kata Nurmala. Ia adalah cucu Yuyun.

Nurmala menyerahkan surat itu kepada Yuyun.

“Tapi ini anehkan? Nama nenek bisa tertulis lengkap di sini. Tapi nama jalannya saja yang salah,” kata Nurmala. “Jalan Garuda, bukannya ini jalan Sulfat ya nek?”

Yuyun yang sudah tua itu, butuh kacamata untuk bisa membacanya. Ia pun membuka surat itu. Tiba-tiba ia menangis. Air mata mengalir deras di pipinya.

“Ada apa nek?” tanya Nurmala.

Yuyun memeluk surat itu ke dadanya. Dan tiba-tiba ia pun tergeletak di kursi tak sadarkan diri. Nurmala panik, ia segera berteriak minta tolong. Segera saja hampir seluruh isi rumah menghampirinya.

“Telpon ambulan, cepat!!” teriaknya.

Yuyun segera dibawa ke rumah sakit setela itu. Nurmala pun penasaran dengan isi surat tersebut. Akhirnya ia pun membacanya.



Yuyun Sayangku,

Betapa rindunya Kakandamu ini kepadamu. Kanda sudah berjanji akan melamarmu setelah Indonesia merdeka dari cengkraman para penjajah ini. Hari ini tepat tanggal 16 Agustus 1945, kami menjadi tuan rumah bagi dua orang yang paling disegani di negeri ini, yaitu Soekarno dan Muhammad Hatta. Kami sedang merumuskan kemerdekaan RI.

Aku tahu aku hanya oang biasa, hanya pesuruh dan kacung. Tapi aku sudah bertekad, kalau besok Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, artinya kita bebas. Kita merdeka. Dan kita akan menikah sebagaimana cita-cita kita dulu. Aku berharap semoga Yadrin bisa mengantarkan surat ini kepadamu. Semoga juga aku bisa datang kepadamu, terkirim cintaku untukmu.



Yanto

16 Agustus 1945



Nurmala terkejut bukan main. Tangannya bergetar hebat membaca surat itu. Matanya berkaca-kaca seakan-akan tak percaya terhadap apa yang baru saja ia baca. Surat ini berasal dari tahun 1945. Ibunya pernah bercerita bahwa neneknya pernah jatuh cinta kepada seorang pemuda bernama Yanto ketika masa kemerdekaan dulu. Namun, karena tak ada kabar, akhirnya nenek menikah dengan orang lain. Sayangnya Yanto datang dua kemudian, ia patah hati melihat Yuyun menikah dengan lelaki lain. Ia pun marah kepada Yadrin karena dianggap tidak amanah karena tidak mengirimkan surat yang ia titipkan. Tapi Yadrin bersumpah telah mengirimkan surat itu, sehingga Yanto menganggap Yuyunlah yang berbohong dan memang mengkhianatinya.

Alhasil cinta mereka pun kandas. Namun surat yang seharusnya diterima 67 tahun yang lalu sekarang telah diterima. Nurmala sangat penasaran bagaimana orang tadi bisa mengirimkan surat ini. Hal itu membuatnya makin penasaran lagi setelah ia menjenguk neneknya. Yuyun selalu mengigau “Yanto, Yanto, aku sudah terima suratmu. Aku sudah terima suratmu. Maafkan aku!”

Nurmala hanya bisa melihat neneknya yang tergolek lemas sambil terus mengigau. Tampak selang infus terpasag di lengan kirinya. Surat itu terus dilihatnya, menjadi sebuah saksi bisu, apakah si pengantar itu datang dari masa lalu, ataukah hanya sekedar orang yang berpakaian iseng dan memberikan sesuatu untuk menyakiti hati neneknya?



Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar